mitrainformasi.com -
Jakarta - Pakar Hukum Pidana Prof. Dr. Didik Endro Purwoleksono menegaskan bahwa tragedi Kanjuruhan bukan pelanggaran HAM berat.
Karena, kata Didik, kalau dikatakan pelanggaran HAM maka acuannya adalah pengadilan HAM, Undang-Undang 26 tahun 2000.
"Dan itu ada dua jenis genosida dan kemanusiaan. Ciri khas pelanggaran HAM adalah sistematis, tetapi gas air mata bukan senjata tajam," tuturnya dalam acara Focus Grup Diskusi Tragedi Kanjuruhan yang diadakan di Kampus Unair Surabaya, Jumat 25/11
Dirinya tidak menyatakan pembunuhan berencana atau pembunuhan biasa. Jika itu pembunuhan berencana, maka pasti ada perencanaan dari jauh-jauh hari.
"Dalam kasus ini tidak, tidak ada ceritanya Polisi itu melakukan pembunuhan massal. Menurut saya seperti pelanggaran HAM pembunuhan berencana ini kita kesampingkan," katanya.
Menurutnya, dalam konteks pembunuhan biasa juga tidak bisa diiterapkan. Katanya, perlu melihat unsur culpa apakah kelalaian atau kesengajaan, sehingga pelanggaran HAM dan pembunuhan baik ataupun berencana tidak relevan.
"Jadi yang paling pas dikenakan pasal 359, namun perlu didalami apakah aparat kepolisian hadir disana. Sudah mengetahui atau tidak tentang regulasi larangan FIFA membawa gas air mata kedalam Stadion," sebutnya.
Berikutnya, lanjut Didik, penembakan gas air mata apakah sesuai dengan SOP. Dan yang ketiga apakah dapat dibuktikan apakah para korban itu merupakan korban Gas Air Mata. Dan poin terakhir, apakah bisa dibuktikan gas air mata dibuktikan menyebabkan kepanikan sehingga saling berdesakan dan terjadilah tragedi itu.
"Menurut saya dari empat poin tersebut jika salah satunya memenuhi, maka aspek pidananya bisa dikenakan pasal 359," sebutnya.
Dia juga membeberkan pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut, yakni Komandan yang memerintahkan penyemprotan.
"Bagaimana dengan anggota ? saya menjawab tidak bisa, karena anggota melaksanakan perintah jabatan beda dengan TNI system komando. Karena Polisi patuh pada peradilan pidana jika ada kesalahan," pungkasnya.