mitrainformasi.com -
Pada 10 Februari 1996, Garry Kasparov sang juara catur dunia pada masa itu beradu catur dengan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) bernama Deep Blue. Hasilnya bisa ditebak, robot bernama Deep Blue mengalahkan Kasparov. Kasparov menyerah pada permainan akhir. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di dalam dunia catur, tetapi juga merambah ke dalam masa kini. Saat ini Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) telah mampu mengaplikasikan diri secara cepat, memiliki basis pengetahuan yang mapan yang bersumber dari simulasi ilmu pengetahuan yang diprogram oleh manusia sendiri. AI saat ini telah memiliki beragam bentuk, mulai dari algoritma media sosial dalam gawai (smartphone) yang kita miliki, aplikasi untuk memperindah foto, aplikasi desain, menggambar, melukis, mengarang aransemen lagu, memecahkan soal matematika, menjawab problem filsafat, sampai membuat puisi. Pertanyaan yang sering dilontarkan pada kemunculan AI adalah, “apakah AI nantinya akan memiliki cara berfikir, cara merasa dan cara mengindra seperti manusia?”.
Selain itu juga,hasil kinerja AI pun sampai saat ini masih diperdebatkan dan dipertanyakan oleh para pakar-pakar hukum. Seperti contoh bagaimana apabila AI tersebut membuat sebuah karya di dalam karya seni,teknologi ataupun pada bidang-bidang lainya,Apakah karya tersebut merupakan milik dari AI itu sendiri,atau milik dair Pencipta AI tersebut? Menarik sekali jika pertanyaan ini dicari jawabanya.
Karya yang dihasilkan oleh AI menantang paradigma tradisional hak cipta, yang biasanya mengharuskan adanya pencipta manusia. Dalam konteks ini, penting untuk mengeksplorasi bagaimana hukum hak cipta dapat diterapkan dan diadaptasi untuk menangani karya yang diciptakan oleh mesin. Di Indonesia, Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur tentang penciptaan karya. Pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa pencipta adalah orang yang menciptakan karya. Namun, undang-undang ini tidak secara eksplisit mencakup karya yang dihasilkan oleh AI.
Lebih lanjut lagi, di Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works Konvensi ini menegaskan bahwa karya harus memiliki pencipta manusia. Hal ini menunjukkan batasan dalam pengakuan hak cipta untuk karya yang dihasilkan oleh AI. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel dengan mempertimbangkan hak cipta untuk karya yang dihasilkan oleh AI dalam konteks tertentu, namun masih dalam kerangka penciptaan manusia.
Siapa yang berhak atas karya yang diciptakan oleh AI? Apakah hak cipta harus diberikan kepada pengembang perangkat lunak, pengguna, atau AI itu sendiri? Hal ini memerlukan peninjauan ulang terhadap definisi pencipta dalam hukum hak cipta. isu kepemilikan hak cipta atas karya yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan memerlukan pendekatan hukum yang lebih adaptif dan inovatif. Dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi yang cepat, perlu adanya revisi dalam regulasi yang ada untuk menciptakan kerangka hukum yang adil bagi semua pihak yang terlibat. Penelitian ini penting untuk mendorong diskusi lebih lanjut mengenai bagaimana hukum dapat beradaptasi dengan realitas baru yang dihadirkan oleh kecerdasan buatan.